ISYARAT KEWAFATAN SAYYID MUHAMMAD BIN ALWI AL-MALIKI
Written By Sya'roni As-Samfuriy on Selasa, 23 Juli
2013 | 10.58
a. Detik-detik
Kewafatan Abuya As-Sayyid Muhammad Al-Maliki
Al-Habib Hamid bin Zaid pernah menempuh pendidikan di Pesantren Darul
Mustafa (Hadramaut Yaman) dan telah menikah dengan adik perempuan istri Sayyid
Muhammad al-Maliki. Seminggu sebelum Ramadhan 1425 H, Habib Hamid menerima
telepon dari Sayyid Muhammad al-Maliki di Mekah dan memintanya supaya datang ke
Mekah untuk umrah dan menemuinya. Habib Hamid memenuhi undangan tersebut dan
bersama istrinya segera mempersiapkan segala keperluan untuk keberangkatannya.
Tiket dan visa sudah diurus oleh biro perjalanan yang ditunjuk Abuya (panggilan
hormat untuk Sayyid Muhammad al-Maliki).
“Saya hanya mengurus paspor. Seluruh biaya juga ditanggung Abuya”, kata Habib Hamid.
Hari kedua Ramadhan, Sayyid Muhamad al-Maliki kembali meneleponnya. Beliau
meminta Habib Hamid untuk segera terbang ke Mekah. “Kamu harus cepat
menyelesaikan urusanmu, segeralah terbang ke Mekah”, pinta Sayyid Muhammad
al-Maliki terkesan agak cemas.
Hari keempat Ramadhan, kembali beliau menelepon untuk memastikan Habib
Hamid dan istrinya jadi berangkat. “Ketika itu Abuya bilang agar saya
langsung saja terbang ke Madinah untuk berziarah ke Makam Rasulullah Saw. dan
shalat di Masjid Nabawi. Sekali lagi, saat itu, beliau meminta agar secepatnya
sampai di Mekah.”
Tepat pada 5 Ramadhan 1425 H, Habib Hamid dan istri terbang menuju Madinah.
Di bandar udara, dijemput oleh salah seorang murid Sayyid Muhammad al-Maliki
dan membawanya ke hotel yang telah disediakan. Dua hari di Madinah, kemudian
terbang ke Mekah. “Saya sampai di Mekah pada tanggal 8 Ramadhan dan langsung
istirahat di hotel yang disediakan Abuya. Sorenya baru dijemput oleh Habib Isa
bin Abdul Qadir, salah satu murid beliau untuk menemui orang yang paling saya
kagumi, Sayyid Muhammad al-Maliki al-Hasani. Sungguh tegang dan jantung
berdetak lebih keras dari biasanya.”
Sore itu, seusai sholat Asar, Abuya menerima Habib Hamid di ruang kerjanya.
“Beliau memelukku, mengucap selamat datang dan bertanya kabar teman dan
muridnya di Indonesia, seperti Habib Abdurrahman Assegaf (Bukit Duri), Habib
Abdullah al-Kaf (Tegal), KH. Abdullah Faqih (Langitan) dan ulama lainnya. Saya
jawab semua baik-baik saja. Setelah itu saya kembali ke hotel. Beliau pesan,
agar nanti berbuka puasa bersama dengannya”, kenang Habib Hamid.
Ketika saat berbuka puasa hampir tiba, utusan Sayyid Muhammad al-Maliki
menjemput Habib Hamid. “Hamid, apa yang kau bawa dari Indonesia?” Tanya
Abuya tiba-tiba, saat Habib Hamid masuk ke ruang kerjanya.
“Saya membawa dodol durian kesukaan Abuya.” jawab Habib Hamid.
Wajah Sayyid Muhammad al-Maliki tampak gembira sekali. Beliau langsung
membagikan oleh-oleh itu kepada teman-teman dan muridnya yang ada di situ.
Beliau juga langsung mencicipinya saat buka puasa tiba.
“Ada titipan lagi buat saya?” tanya Abuya lagi.
“Ya, saya membawa buah mangga dan kelengkeng”
Dahi Abuya berkerut. “Kelengkeng? Buah apa itu?” tanya beliau.
Habib Hamid menjelaskan buah kelengkeng dan meminta beliau mencobanya. “Abuya
tampak suka sekali buah itu, dan memakannya sampai menjelang shalat Isya.”
Tutur Habib Hamid.
Malam itu, tepat malam tanggal 9 Ramadhan 1425 H, Habib Hamid berkesempatan
shalat Isya dan Tarawih berjamaah bersama Sayyid Muhammad al-Maliki. Saat itu
ikut berjamaah beberapa ulama dari Turki, Mesir dan beberapa negara lain.
Tiba-tiba Sayyid Muhamad al-Maliki memanggil Habib Hamid.
“Hamid bin Zaid, kamu jadi imam Tarawih!” kata Sayyid Muhammad al-Maliki. Habib
Hamid tidak merasa namanya yang dipanggil, sebab ia merasa tidak mungkin
ditunjuk menjadi imam. Sementara di situ banyak ulama besar yang pasti lebih
layak menjadi imam shalat Tarawih.
Sekali lagi Sayyid Muhammad al-Maliki memanggil Habib Hamid. “Hamid bin
Zaid, kamu yang akan menjadi imam.”
“Sulit dipercaya, saya yang masih muda ini ditunjuk menjadi imam. Sementara
di belakang saya ada Abuya dan ulama-ulama besar yang disegani. Sungguh, saya
gemetar. Membaca surah al-Fatihah yang biasanya lancar di luar kepala pun,
menjadi terasa sangat sulit. Alhamdulillah, saya mampu melewati ujian berat itu
dengan baik, meskipun harus gemetaran.” Habib Hamid melanjutkan ceritanya.
Selesai shalat Tarawih, Sayyid Muhammad al-Maliki membaca shalawat dan
qasidah. “Menurut murid-muridnya, setiap Ramadhan, seusai shalat, beliau
selalu membaca Qasidah Sayyidah Khadijah al-Kubra. Beliau juga sering berziarah
ke makam istri pertama Nabi Saw. bersama keluarganya. Sebelum meninggalkan
masjid, beliau memanggil dan menyuruh saya umrah malam itu juga.”
“Sebelum saya berangkat umrah, Abuya sempat menanyakan keadaan Indonesia.
Beliau ingin berkunjung ke Indonesia, bertemu dengan para ulama dan
murid-muridnya. Tapi wakyunya belum tepat, beliau bilang, kesibukan menulis
buku dan pertemuan dengan para ulama Mekah, sangat menyita waktunya.”
Pada 10 Ramadhan, kembali Abuya memanggil Habib Hamid untuk shalat Tarawih
bersama dan untuk kedua kalinya menyuruhnya umrah. “Ajaklah istrimu untuk
umrah dan kembalilah untuk shalat Shubuh berjamaah, pesan Abuya sebelum saya
berangkat umrah. Saya pun berpamitan sambil meminta izin untuk pergi ke Jeddah,
sekadar silaturrahim ke saudara-saudara istri saya. Abuya hanya memberi izin
dengan isyarat tangan dan wajah menunduk. Saya merasa, beliau tidak ingin
mengizinkan saya pergi, tapi juga tidak ingin mencegah. Saya akhirnya
memutuskan untuk tidak pergi ke Jeddah.”
Pagi hari tanggal 11 Ramadhan, Habib Hamid shalat Shubuh bersama bersama
Sayyid Muhamad al-Maliki. Beliau terkejut saat saya berada di sampingnya. “Kamu
tidak jadi pergi ke Jeddah?” tanyanya.
“Tidak Abuya”, sahut Habib Hamid.
“Bagus!” jawab Abuya sambil memeluknya.
Malamnya, seperti hari sebelumnya, Habib Hamid berjamaah shalat Tarawih
yang diakhiri dengan membaca qasidah Sayyidah Khadijah al-Kubra. Malam itu
juga, Habib Hamid mendapat perintah Sayyid Muhammad al-Maliki untuk umrah yang
ketiga kalinya.
“Pada 12 Ramadhan, selesai shalat Isya, Abuya menyuruhku untuk umrah yang
keempat kalinya. Katanya, itu adalah umrah terakhir atas perintahnya. Perasaan
saya memang tak enak saat beliau mengatakan itu. Ah, mungkin beliau punya
rencana lain untuk saya besok.”
Rabu 13 Ramadhan, untuk kedua kalinya, Habib Hamid ditunjuk menjadi imam
Tarawih oleh Sayyid Muhammad al-Maliki. Saat itu jamaahnya sekitar 200 orang,
sebagian besar adalah tamu-tamu Abuya. “Malam itu, beliau merasa letih dan
kakinya kesemutan.”
Di luar kebiasaan pula, kali ini, Abuya tidak membaca sholawat dan qasidah.
Beliau meminta murid-muridnya, Bilal, Burhan, Aqil al-Aththas dan satu murid
asal Kenya, membacakan secara bergantian. Sayyid Muhammad al-Maliki kelihatan
sangat lelah. Maklum terkadang selama hampir 24 jam terjaga. Tamunya tak pernah
berhenti mengalir, dan di sela waktu luangnya, masih tekun menulis dan membaca
buku. Perpustakaan di rumah tinggalnya sampai membutuhkan tiga lantai. Kamarnya
juga penuh dengan buku. Selain itu, beliau juga suka berkebun, tanahnya luas. “Abuya
juga punya kebun buah yang cukup luas.” Kata Habib Hamid.
Akhirnya, Abuya Sayyid Muhammad al-Maliki masuk rumah sakit untuk menjalani
pemeriksaan. Menurut dokter, kondisinya cukup baik, hanya perlu istirahat di
rumah sakit. Pada kamis 14 Ramadhan, istri dan keluarga beliau menjenguk. “Apa
kabar Hamid bin Zaid, kamu betah di sini?” tanya Abuya ambil memandangku.
Seperti biasanya, wajahnya kelihatan gembira, tidak seperti orang yang sedang
sakit.
“Kami tidak lama di rumah sakit, karena istri dan anak-anak Abuya akan
berziarah ke Ma’la, ke makam Sayyidah Khodijah al-Kubra. Ziarah kali ini aneh.
Biasanya istri Abuya tidak pernah turun dari mobil. Beliau membaca sholawat dan
qasidah dari dalam mobil. Eh, hari itu beliau dan semua anggota keluarga
bersama-sama membaca al-Fatihah di makam istri pertama Rasulullah Saw.” ungkap Habib
Hamid.
Malamnya, murid dan kerabat beliau berkumpul di rumah akit. Wajah beliau
tidak berubah, tetap gembira, seperti tidak sedang sakit. “Sekitar jam
20.00. dokter datang, dan mengatakan Abuya sudah sembuh. Kami semua memekik,
Allahu Akbar!”
b. Saat Bulan Purnama
Tersaput Awan
Di luar rumah sakit sesaat kemudian, Sayyid Muhammad al-Maliki meminta izin
kepada dokter untuk menengok keluarga dan murid-muridnya. Tepat jam 00.00,
beliau keluar dari rumah sakit. Sebelum masuk ke mobil, Abuya menghadap ke
langit selama dua menit. Bilal, salah satu muridnya bertanya: “Ada apa,
Abuya?”
Abuya al-Maliki menjawab: “Tidak ada apa-apa.”
Saat itu, seharusnya bulan sedang purnama sangat indah, namun malam itu
justru tertutup awan. “Sebelumnya dalam beberapa hari terakhir, beliau
selalu meminta agar murid-muridnya melihat bulan, dan bertanya apakah bulan
sudah kelihatan?”
Dari rumah sakit, beliau tidak langsung ke rumah, tapi ke pondok pesantren,
untuk menemui murid-murinya. Saat itu jam 03.00. “Saya sendiri yang
membukakan pintu gerbang. Setelah itu, datang Sayyid Abbas, adiknya, bersama
keluarga yang lain. Kami bersama-sama membaca qasidah, lalu terlibat dalam
obrolan yang sesekali diselingi dengan tertawa lebar”, cerita Habib Hamid
sambil mengenang peristiwa penting itu.
Pertemuan malam itu, katanya, diakhiri dengan sahur bersama. Sebelumnya,
Abuya sempat bertemu kakaknya dan bikin perjanjian untuk berbuka puasa hanya
dengan tiga buah kurma dan air zamzam. “Pas jam 04.00, beliau meminta
semuanya istirahat dan bersiap shalat Shubuh. Beliau sendiri masuk ke kamar
kerjanya.”
Di kamar itu, beliau ditemani Bilal dan Burhan. Tapi Bilal diminta keluar
kamar. Saat itulah, Sayyid Muhammad al-Maliki tiba-tiba bertanya kepada Burhan.
“Hai, Burhan. Aku sebaiknya istirahat di kursi atau di bumi (maksudnya
karpet)?”
“Terserah Abuya.” Sahut Burhan bingung, karena tidak tahu harus menjawab Abuya. Bagaimana
mungkin seorang murid memutuskan sesuatu untuk gurunya?
“Saya akan istirahat di bumi saja.” Kata Sayyid Muhammad al-Maliki.
Beliau kemudian duduk menghadap kiblat dan bersandar. Sesaat, sempat
mengambil buku dari tangan Burhan. Tapi kemudian, diletakkan di meja, lalu
beliau menengadah menyebut, “Lailaaha illallah….”
“Innalillahi wainna ilaihi raji’un...” hanya itu yang terucap dari mulut
Burhan. Hari tepat tanggal 15 Ramadhan 1425 H atau 29 Oktober 2004, saat pagi
mulai membuka kehidupan, Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas al-Maliki
al-Hasani wafat. Jenazah almarhum langsung dibawa ke rumah sakit. Dokter
menyuruh semua keluarga dan murid-murid beliau untuk pulang ke Pondok
Pesantren.
Tepat seusai shalat Shubuh, ambulan rumah sakit yang membawa jenazah Abuya,
tiba di kediaman beliau. “Saya pingsan. Ya, sepertinya, pertemuan saya
dengan beliau hanya untuk mengantarkan jenazahnya ke Ma’la, tempat beliau dimakamkan,
dekat dengan makam Sayyidah Khadijah al-Kubra, yang qasidahnya dibaca setiap
kali selesai shalat Tarawih.”
c.
Berkah Doa Al-Fatihah
Mari kita hadiahkan al-Fatihah untuk Guru kita al-‘Allamah al-Muhaddits
Prof. Dr. as-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani. Beliau wafatnya
pada hari Jum’at, malam 15 Ramadhan di waktu sahur, wafat di saat beliau
beristighfar di waktu Sahur, pada malamnya beliau tidak mengajar kitab-kitab
namun banyak menceritakan perihal surga dan menyatakan hasratnya untuk bertemu
dengan ayahnya, Sayyid Alawi al-Maliki.
Beliau wafat hari Jumat 15 Ramadhan 1425 H bertepatan dengan tanggal 29
Oktober 2004 M dan dimakamkan di pemakaman al-Ma’la di samping makam istri
Rasulallah Saw. Khadijah binti Khuailid Ra. dengan meninggalkan 6 putra, Ahmad,
Abdullah, Alawi, Ali, al- Hasan dan al-Husein dan beberapa putri-putri yang
tidak bisa disebut satu persatu di sini.
Ilaa
hadhrotinnabiyil musthofa rosulullah shollallohu ‘alaihi wasallam, wa ila ruuhi
sayyid muhammad bin alawi al-maliki qoddasallahu sirrohu wanawwaro dloriihahu,
al-Fatihah...
Dari
berbagai sumber.
Sya’roni
As-Samfuriy, Cibitung Bekasi 15 Ramadhan 1434 H
0 Response to "Supaya hati Hidup | ISYARAT KEWAFATAN SAYYID MUHAMMAD BIN ALWI AL-MALIKI "
Posting Komentar